Yap, berbeda, kenapa tidak?
Bukan berarti kita harus selalu terlihat berbeda dengan orang lain. Tetapi ini merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari oleh muslimah berjilbab di negeri minoritas muslim, seperti yang saya alami saat ini. Hidup menjadi seorang muslim di negeri minoritas muslim memiliki tantangan tersendiri.
Agama Islam adalah agama yang sangat jarang dianut oleh orang-orang Korea. Tidak jarang mereka bertanya-tanya tentang agama Islam dan bagaimana kami bisa menjalankan semua amalan Islam.
Bagi saya, menjadi seorang muslimah di negeri minoritas Islam adalah hal yang sulit pada awalnya. Ketika saya bermimpi untuk kuliah di luar negeri, hal ini terlewatkan oleh saya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya sekalipun sebelumnya bagaimana hidup di negara minoritas Islam.
Awalnya bukan hal yang mudah. Apalagi saya tiba di Seoul saat penghujung musim panas 2011. Teman-teman lab saya kerap bertanya, "Kamu gak kepanasan?". Saya cuma bilang, "Ngga ko, cuaca di Indonesia lebih panas daripada di sini", sambil tersenyum. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti sudah biasa didengar oleh teman sesama muslimah ketika musim panas. Tetapi pertanyaan berganti dengan penasaran ketika musim gugur tiba.
Di awal musim gugur 2011 saya pergi menonton pesta kembang api di pinggiran sungai Hangang. Pada saat itu cuaca cukup dingin dengan angin yang lumayan brrr. Di tengah-tengah keriuhan para penonton pesta kembang api, tiba-tiba saya melihat seorang agashi (mba-mba Korea) mencoba memakai scarf di kepala. Mungkin dia penasaran gimana rasanya kalau pake kerudung, apakah lebih hangat atau tidak, hahaha.
Memasuki musim dingin, tidak terlalu banyak orang bertanya-tanya tentang pakaian saya, karena memang sangat dingin sehingga mereka mungkin merasa wajar saya memakai pakaian tertutup. Bahkan menggunakan jilbab sangat membantu loh. Karena jilbab dapat melindungi telinga dari angin dingin ketika kita berjalan-jalan di luar. Sehingga kita tidak perlu lagi memakai penutup telinga atau kupluk. Tapi ada satu pemandangan lucu ketika saya pergi ke Garden of Morning Calm akhir tahun 2013. Ktika saya dan teman-teman sedang mengobrol sambil melihat pemandangan lampu-lampu, tiba-tiba seorang nenek terlihat sedang berusaha membelitkan scarfnya di kepala. Kami pun berpikir bahwa nenek tersebut ingin memakai scarfnya seperti saya memakai jilbab. Ah, terharu saya, karena saya jadi kiblat fashion seorang nenek Korea.
Saya jadi ingat kejadian ketika saya berjalan-jalan di Gyeongju bulan Juni 2013. Saat itu saya dan teman-teman berjalan-jalan mengelilingi kota Gyeongsan. Di perjalanan menuju stasiun Gyeongsan, saya melihat di depan kami ada seorang wanita yang sedang menelepon di depan tokonya. Ketika kami lewat, tiba-tiba wanita itu menutup telponnya dan menyapa saya. Lalu dia bertanya, "Wah, kamu beli kain ini dari mana?". Terus saya bingung harus menjawab apa, karena kain kerudung yang saya pakai dibeli di Indonesia. Lalu saya bilang, ini beli di Indonesia, kalau dia mau beli, di Itaewon juga ada yang jual. Tapi dia mau kain yang seperti saya pakai saat itu. Katanya, "Saya sering lihat orang pakai jilbab, tapi baru kali ini saya melihat jilbab dengan model seperti ini. Kenapa tidak terlihat ujung kainnya." (Kira-kira seperti itu terjemahan bebas dari teman saya, hahaha).Saya dan teman-teman semakin bingung, lalu kami pun berpamitan setelah menjelaskan bahwa jilbab saya dibeli di Indonesia.
Komentar lain dari ahjumma (nenek-nenek aktif Korea) yang paling sering saya dengar adalah, "Kamu dari mana? Wah, cantik ya." Ehm, tersanjung sih dibilang cantik, hahaha. Saya sebenarnya termasuk orang beruntung karena sampai saat ini belum pernah bertemu dengan orang yang sangat sinis terhadap jilbab. Teman saya ada yang jilbabnya ditarik-tarik oleh seorang ahjumma karena saat itu musim panas, dan kalau pakai jilbab tambah panas. Teman yang lain pernah tiba-tiba kepalanya dipegang-pegang oleh seorang ahjumma (juga) sambil bertanya, "Ini apa?". Eh saya juga pernah sih, tapi tidak se-ekstrim itu. Ketika saya sedang menunggu teman-teman di Dunkin Donuts, tiba-tiba ada anak kecil yang menempelkan mukanya di kaca samping meja saya sambil memasang ekspresi keheranan. Saya saat itu cuma bisa bingung.
Nah, pengalaman paling menarik adalah ketika saya jajan atau berbelanja di tempat yang sama beberapa kali. Karena pakaian saya yang tidak biasa, penjual biasanya dengan mudah bisa mengenali saya. Hal ini menjadi suatu keuntungan bagi saya karena orang Korea biasa memberikan bonus tambahan sebagai service kepada pelanggan agar pelanggan tetap berbelanja di tempat mereka. Suatu ketika saya berbelanja sayur di warung mobil seorang bapak-bapak. Sebagai service, bapak penjual sayur memberi sebuah jeruk kepada saya. Di lain waktu, si bapak memberi saya sebuah tahu dan dia berkata, "Kamu coba tahu ini, nanti kasih tau saya enak atau tidak." Beberapa minggu kemudian saya pun kembali berbelanja di tempat bapak tadi dan memberikan laporan, "Tahunya enak pak." Pengalaman seperti ini juga saya alami beberapa minggu lalu ketika saya jajan takoyaki. Saat itu saya membeli takoyaki di tempat yang sama untuk kedua kalinya, bapak penjual pun memberi tambahan sebuah takoyaki sebagai service dengan harapan saya akan jajan takoyaki di tempat dia lagi. Kalau semua penjual seperti kedua bapak tadi saya akan sangan senang tinggal di korea. :)
Awalnya bukan hal yang mudah. Apalagi saya tiba di Seoul saat penghujung musim panas 2011. Teman-teman lab saya kerap bertanya, "Kamu gak kepanasan?". Saya cuma bilang, "Ngga ko, cuaca di Indonesia lebih panas daripada di sini", sambil tersenyum. Pertanyaan-pertanyaan seperti itu pasti sudah biasa didengar oleh teman sesama muslimah ketika musim panas. Tetapi pertanyaan berganti dengan penasaran ketika musim gugur tiba.
Di awal musim gugur 2011 saya pergi menonton pesta kembang api di pinggiran sungai Hangang. Pada saat itu cuaca cukup dingin dengan angin yang lumayan brrr. Di tengah-tengah keriuhan para penonton pesta kembang api, tiba-tiba saya melihat seorang agashi (mba-mba Korea) mencoba memakai scarf di kepala. Mungkin dia penasaran gimana rasanya kalau pake kerudung, apakah lebih hangat atau tidak, hahaha.
![]() |
Kembang api yang keren. :D |
Saya jadi ingat kejadian ketika saya berjalan-jalan di Gyeongju bulan Juni 2013. Saat itu saya dan teman-teman berjalan-jalan mengelilingi kota Gyeongsan. Di perjalanan menuju stasiun Gyeongsan, saya melihat di depan kami ada seorang wanita yang sedang menelepon di depan tokonya. Ketika kami lewat, tiba-tiba wanita itu menutup telponnya dan menyapa saya. Lalu dia bertanya, "Wah, kamu beli kain ini dari mana?". Terus saya bingung harus menjawab apa, karena kain kerudung yang saya pakai dibeli di Indonesia. Lalu saya bilang, ini beli di Indonesia, kalau dia mau beli, di Itaewon juga ada yang jual. Tapi dia mau kain yang seperti saya pakai saat itu. Katanya, "Saya sering lihat orang pakai jilbab, tapi baru kali ini saya melihat jilbab dengan model seperti ini. Kenapa tidak terlihat ujung kainnya." (Kira-kira seperti itu terjemahan bebas dari teman saya, hahaha).Saya dan teman-teman semakin bingung, lalu kami pun berpamitan setelah menjelaskan bahwa jilbab saya dibeli di Indonesia.
Komentar lain dari ahjumma (nenek-nenek aktif Korea) yang paling sering saya dengar adalah, "Kamu dari mana? Wah, cantik ya." Ehm, tersanjung sih dibilang cantik, hahaha. Saya sebenarnya termasuk orang beruntung karena sampai saat ini belum pernah bertemu dengan orang yang sangat sinis terhadap jilbab. Teman saya ada yang jilbabnya ditarik-tarik oleh seorang ahjumma karena saat itu musim panas, dan kalau pakai jilbab tambah panas. Teman yang lain pernah tiba-tiba kepalanya dipegang-pegang oleh seorang ahjumma (juga) sambil bertanya, "Ini apa?". Eh saya juga pernah sih, tapi tidak se-ekstrim itu. Ketika saya sedang menunggu teman-teman di Dunkin Donuts, tiba-tiba ada anak kecil yang menempelkan mukanya di kaca samping meja saya sambil memasang ekspresi keheranan. Saya saat itu cuma bisa bingung.
Nah, pengalaman paling menarik adalah ketika saya jajan atau berbelanja di tempat yang sama beberapa kali. Karena pakaian saya yang tidak biasa, penjual biasanya dengan mudah bisa mengenali saya. Hal ini menjadi suatu keuntungan bagi saya karena orang Korea biasa memberikan bonus tambahan sebagai service kepada pelanggan agar pelanggan tetap berbelanja di tempat mereka. Suatu ketika saya berbelanja sayur di warung mobil seorang bapak-bapak. Sebagai service, bapak penjual sayur memberi sebuah jeruk kepada saya. Di lain waktu, si bapak memberi saya sebuah tahu dan dia berkata, "Kamu coba tahu ini, nanti kasih tau saya enak atau tidak." Beberapa minggu kemudian saya pun kembali berbelanja di tempat bapak tadi dan memberikan laporan, "Tahunya enak pak." Pengalaman seperti ini juga saya alami beberapa minggu lalu ketika saya jajan takoyaki. Saat itu saya membeli takoyaki di tempat yang sama untuk kedua kalinya, bapak penjual pun memberi tambahan sebuah takoyaki sebagai service dengan harapan saya akan jajan takoyaki di tempat dia lagi. Kalau semua penjual seperti kedua bapak tadi saya akan sangan senang tinggal di korea. :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar