Hidup terpisah jauh dari orang tua bukanlah
hal yang baru bagi saya. Sejak lulus dari SD di umur 11 tahun, saya sudah
tinggal di luar rumah karena masuk pesantren. Walaupun masih di kota yang sama,
saya tidak bisa pulang ke rumah setiap minggu. Karena ada jadwal libur terpisah
antara santri perempuan dan laki-laki.
Setelah lulus SMP pun saya masih tinggal di
luar rumah. Kali ini jarak antara rumah dan sekolah saya lebih jauh dari
sebelumnya, beda kota, beda propinsi. Walaupun beda kota, saya tetap hidup layak
dan terjamin karena SMA saya adalah sekolah berasrama. Menjelang lulus SMA saya
bertekad untuk melanjutkan kuliah di bandung. Kebetulan saat itu orang tua juga
pindah rumah ke Bandung.
Alhamdulillah saya diterima di salah satu
perguruan tinggi negeri di Bandung. Senangnya bukan main, karena saya bisa
berkumpul kembali bersama orang tua dan adik-adik. Tapi apa daya, rumah orang
tua di Bandung tidak sebesar rumah sebelumnya yang terletak di Garut. Kondisi
itu membuat saya tidak mendapat kamar. Akhirnya saya masih harus hidup terpisah
dari orang tua karena selama kuliah di Bandung saya menumpang di rumah saudara
(kakak tertua ibu saya).
![]() |
And the story is not finish yet... |
Petualangan saya masih belum berakhir,
setelah lulus kuliah saya mendapatkan beasiswa ke Korea Selatan di umur 23
tahun. Lagi-lagi harus tinggal terpisah dari orang tua. Walaupun pertama
kalinya akan menjalani hidup sendiri di luar negeri, saya merasa akan bisa
bertahan. Berbekal pengalaman hidup terpisah dari orang tua selama 12 tahun.
Maka berangkatlah saya dengan penuh keyakinan dan sedikit kesombongan.
![]() |
Ibu, Uwa-uwa, Nenek, Adik-adik, dan Keponakan-keponakan. |
Dua semester awal Alhamdulillah saya lalui
dengan padat lancar (ibarat kodisi lalu lintas kira-kira seperti itu
kondisinya, hehehe…). Tapi di semester tiga kesombongan saya runtuh. Semua
pengalaman selama berbelas-belas tahun tinggal di luar rumah tidak ada artinya.
Untuk pertama kalinya saya menelpon orang tua sambil menangis. Saya minta
pulang, saya ingin menyerah, saya merasa benar-benar tidak sanggup lagi
melanjutkan kehidupan di Korea.
![]() |
Ibu, Ibu, Ibu... |
Saat itu orang tua saya panik, mereka ingin
mencoba membantu tapi tidak bisa berbuat apapun selain memberi saya semangat
dan motivasi untuk tetap melanjutkan kuliah di sini. Beberapa hari setelah itu
ibu saya terus mengirimi pesan berisi do’a-do’a melalui facebook. Ayah saya
juga mengirimi sms berisi do’a-do’a dan kata-kata penyemangat. Setelah membaca
pesan-pesan yang dikirim oleh kedua orang tua saya, sayapun berusaha untuk
tetap kuat dan sabar menjalani kehidupan di Korea Selatan.
Setelah kejadian tersebut saya menyadari
bahwa kasih sayang orang tua tidak akan pernah berkurang sejauh apapun anak-anaknya
hidup. Dan buat saya, menelpon sambil menangis tidak boleh terulang, cukuplah
saat itu adalah yang pertama dan terakhir kali. Karena saya hanya menambah
beban pikiran orang tua kalau saya melakukannya lagi. Sejak saat itu saya tidak
pernah mengeluh lagi ketika menelpon orang tua.
![]() |
Full team 28 Agustus 2010 |
Insya Allah saya harus sabar dan mampu
menyelesaikan apa yang sudah saya mulai di negeri ginseng ini. Bismillah…!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar