Selasa, 02 April 2013

Runtuhnya Kesombongan Perantau


Hidup terpisah jauh dari orang tua bukanlah hal yang baru bagi saya. Sejak lulus dari SD di umur 11 tahun, saya sudah tinggal di luar rumah karena masuk pesantren. Walaupun masih di kota yang sama, saya tidak bisa pulang ke rumah setiap minggu. Karena ada jadwal libur terpisah antara santri perempuan dan laki-laki.
Setelah lulus SMP pun saya masih tinggal di luar rumah. Kali ini jarak antara rumah dan sekolah saya lebih jauh dari sebelumnya, beda kota, beda propinsi. Walaupun beda kota, saya tetap hidup layak dan terjamin karena SMA saya adalah sekolah berasrama. Menjelang lulus SMA saya bertekad untuk melanjutkan kuliah di bandung. Kebetulan saat itu orang tua juga pindah rumah ke Bandung.
Alhamdulillah saya diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Bandung. Senangnya bukan main, karena saya bisa berkumpul kembali bersama orang tua dan adik-adik. Tapi apa daya, rumah orang tua di Bandung tidak sebesar rumah sebelumnya yang terletak di Garut. Kondisi itu membuat saya tidak mendapat kamar. Akhirnya saya masih harus hidup terpisah dari orang tua karena selama kuliah di Bandung saya menumpang di rumah saudara (kakak tertua ibu saya).
And the story is not finish yet...
Petualangan saya masih belum berakhir, setelah lulus kuliah saya mendapatkan beasiswa ke Korea Selatan di umur 23 tahun. Lagi-lagi harus tinggal terpisah dari orang tua. Walaupun pertama kalinya akan menjalani hidup sendiri di luar negeri, saya merasa akan bisa bertahan. Berbekal pengalaman hidup terpisah dari orang tua selama 12 tahun. Maka berangkatlah saya dengan penuh keyakinan dan sedikit kesombongan.

Ibu, Uwa-uwa, Nenek, Adik-adik, dan Keponakan-keponakan.
Dua semester awal Alhamdulillah saya lalui dengan padat lancar (ibarat kodisi lalu lintas kira-kira seperti itu kondisinya, hehehe…). Tapi di semester tiga kesombongan saya runtuh. Semua pengalaman selama berbelas-belas tahun tinggal di luar rumah tidak ada artinya. Untuk pertama kalinya saya menelpon orang tua sambil menangis. Saya minta pulang, saya ingin menyerah, saya merasa benar-benar tidak sanggup lagi melanjutkan kehidupan di Korea.

Ibu, Ibu, Ibu...
Saat itu orang tua saya panik, mereka ingin mencoba membantu tapi tidak bisa berbuat apapun selain memberi saya semangat dan motivasi untuk tetap melanjutkan kuliah di sini. Beberapa hari setelah itu ibu saya terus mengirimi pesan berisi do’a-do’a melalui facebook. Ayah saya juga mengirimi sms berisi do’a-do’a dan kata-kata penyemangat. Setelah membaca pesan-pesan yang dikirim oleh kedua orang tua saya, sayapun berusaha untuk tetap kuat dan sabar menjalani kehidupan di Korea Selatan.

Setelah kejadian tersebut saya menyadari bahwa kasih sayang orang tua tidak akan pernah berkurang sejauh apapun anak-anaknya hidup. Dan buat saya, menelpon sambil menangis tidak boleh terulang, cukuplah saat itu adalah yang pertama dan terakhir kali. Karena saya hanya menambah beban pikiran orang tua kalau saya melakukannya lagi. Sejak saat itu saya tidak pernah mengeluh lagi ketika menelpon orang tua.
Full team 28 Agustus 2010
Insya Allah saya harus sabar dan mampu menyelesaikan apa yang sudah saya mulai di negeri ginseng ini. Bismillah…!!!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar